Semuanya Telah Terlambat
Bentangan luas samudera terhampar menari-nari bak untaian selendang sutera raksasa diombang-ambing sang Penguasa Jagad Raya. Cakrawala dilapisi cendrawan-cendrawan kelabu bergerak perlahan ditingkahi semilir angin penuh ketenangan. Ultraviolet mentari semburat kabur ditelan angin, menyisahkan seberkas kenestapaan. Silih berganti, ketenangan itu hilang, terbang melayang. Guntur menyeringai lebar, bergemuruh dahsyat dan menghujamkan dirinya membentur dunia, bagai bongkah-bongkah atom yang menggelepar-gelepar jatuh dari langit.
“Glegeeeeerrrr...!!!!”
Layaknya petir kebencian menghujamkan dirinya, membakar hatiku. Seumpama benturan hebat asteroid, meledak, membuyar ke seorang wanita lemah nan tak bisa diandalkan, membuatku malu dan sangat menjijikkan. Tak sudi aku menyebut wanita menjijikkan itu ibu! Bertahun-tahun hidup dengan wanita itu, membuatku amat muak! Terlebih, wanita itu selalu melimpahkan kasih sayangnya padaku. Tak sedikitpun ku terima kasih sayang itu. Tak satupun cintanya kupedulikan. Tak secuilpun pengorbanannya yang begitu dahsyat kuhiraukan. Tak pernah dan takkan sudi!
Fajar menyingsing, turun dari peraduannya, menebarkan sejuta pancaran kehangatan. Cicitan burung menyeruak ke seluruh penjuru mata angin, menebarkan romansa suka cita di hatiku. Aku melangkahkan kaki, keluar rumah, tiba-tiba...
“Nak, sarapan dulu ya sebelum berangkat sekolah. Ibu sudah siapkan, walaupun seadanya, tapi... cukuplah untuk mengganjal perutmu,” ucap wanita itu, menghamburkan ketenangan di hatiku. Sembari tertatih-tatih, ia berjalan menghampiri, membelai lembut rambutku. Dengan segera kuhardik tangannya.
“Heh buta, aku nggak akan mau makan masakanmu! Siapa tahu saja kau letakkan racun dalam makanan itu!” kataku amat sangat kasar.
“Astaghfirullah nak, mana mungkin ibumu ini memberikan racun pada anaknya sendiri!” Jawab wanita itu dengan air mata yang mulai menetes dari satu matanya yang buta dan satu matanya lagi yang bolong.
“Ah! Masa bodoh!”
Praaaang...
Kubanting piring penuh makanan itu, lalu aku berlari menghambur keluar, meninggalkan rumah tua nan menyedihkan dan wanita tua yang teramat menyebalkan.
Suasana di sekolah sama suramnya seperti di rumah, kemarahan yang menggelora dalam dada berubah amukan ketika wanita tua bermata bolong dan buta itu menghampiriku di kaki tangga sekolah. Ia datang dan dengan susah payah menanyakan keadaanku, dengan matanya yang sama sekali tak bisa melihat. Tapi tak sedikitpun hatiku terketuk untuk mengasihani dan menganggapnya sebagai seorang ibu.
“Nak... Reyhan anakku, apa kau disana? Jawablah, nak... ibu telah mencarimu kemana-mana...” kata-kata lirih terlontar dari mulut wanita itu.
“Siapa tuh? Ih... dandanannya itu lho! Kumal banget, kayak gelandangan!” cetus salah seorang sahabatku mengomentari wanita itu.
Aku diam, rasa malu menyeruak menggerayangi, merayap melewati pembuluh darah, dan mungkin dalam hitungan menit akan meledak dan menghambur melewati kata-kata panas nan menghancurkan hati wanita itu.
“Iya, siapa tuh? Itu ibumu, Rey? Ih... katanya orang tuammu orang kaya, bangsawan! Kenapa kenyatannya wanita itu yang memanggilmu anaknya?” Dina, sahabatku, ikut memanas-manasi. Aku masih diam. Wajahku memerah.
“Wanita tua bermata bolong! Sudahlah, pergi sana! Kau salah orang!! Tak ada anakmu disini! Hanya ada kalangan orang-orang kaya, bukan gembel sepertimu!!” sahabatku Dina pun mengusir wanita itu. Aku tak tahan, hatiku geram.
“Heh, wanita cacat! Aku bukan anakmu! Jangan pernah kau memanggilku sebagai anakmu, apa kau tak mengerti? Berkali-kali kubilang aku ini bukan anakmu! Dasar perempuan cacat bodoh!!” hardikku dengan wajah penuh malu. Lalu tanpa kata-kata, wanita itu pergi, berlari tertatih-tatih sembari berurai air mata.
Kejadian itu sudah lama, lama sekali... Sekarang aku mendapat beasiswa ke Singapura, hidup bahagia dengan keluargaku dan aku telah menikah. Kutinggalkan wanita cacat itu sendiri di rumah tua. Bertahun-tahun air mengalir, hujan berdesiran berhenti begitu saja. Hingga pada hari ini, datanglah seorang wanita tua rapuh bermata bolong dan satu mata utuh, namun buta, mengetuk pintu rumahku. Saat itu, anakku sedang bermain di teras. Lalu ia berteriak, teriak ketakutan melihat wanita tua itu.
“Ayah!! AYAAAHH!! Ada hantu!!! Aku takut!!!” anakku berteriak memeluk erat diriku.
“assalamualaikum..” wanita tua itu mengucap salam.
“Heh wanita tua! Kau membuat takut anakku! Pergi sana cepat!!” kuusir dengan kasar wanita yang sebenarnya kutahu, ia adalah ibu kandungku.
“Maaf tuan, saya salah alamat.” Jawabnya bergetar, lalu kemabli berjalan menelusuri jalan pekarangan rumahku.
Sejak saat itu, hidupku tetap damai-damai saja bersama anak dan istriku. Hari demi hari terlewati, bulan demi bulan pun berlalu, hingga tiba kunjungan surat pertemuan alumni dari sekolahku dulu. Hari ini, tiba saatnya aku menghadiri acara itu, tujuan utamaku adalah rumah wanita tua bermata bolong itu. Namun, saat ku ketuk pintu rumah jelek itu, tak ada sahutan sedikit pun.
“Tuan, mau cari siapa?” tanya seseorang menepak punggungku.
“Oh! Wanita tua pemilik rumah ini, dimana gerangan wanita itu?” tanyaku perlahan, tap pasti.
“Wanita penghuni rumah ini, beberapa bulan yang lalu meninggal dunia, Tuan!” jawabnya.
“Meninggal? Oh, terima kasih atas informasinya!”
“Sama-sama, Tuan!” sahut pria itu.
Aku sama sekali tak meneteskan air mata sedikit pun. Bahkan, rasanya biasa saja. Lalu, kulihat selembar amplop kusam. Kupungut amplop itu, kubuka, lalu kubaca tulisannya. Tulisan miring tertata rapi, kubaca perlahan...
Teruntuk Ananda,
Anakku yang takkan pernah berhenti kukasihi.
Anakku, takkan.. takkan pernah pun kasih sayang hatiku padamu luntur untuk dirimu. Walaupun kau tak pernah mau menerima kasih sayang yang begitu tulus dari relung sanubariku, tak setetes pun kau balas kasih sayang dan cinta yang kuukir untukmu, aku tetap, aku akan selalu mancintaimu dan bangga sempat memiliki anak sepertimu...
Mungkin, jika kau membaca tulisan yang susah payah kubentuk dari tanganku ini, aku takkan bisa lagi menghirup kehadiranmu, memeluk tubuhmu, lalu bersujud didepanmu, aku takkan bisa! Maaf sebelumya kehadiranku di rumahmu dulu telah membuat takut anakmu takut. Dan aku sungguh mohon maaf karena aku tak bisa menjadi ibu yang dapat dibanggakan. Aku tak bisa melihat! Aku cacat! Aku tahu itu! Dan kau pasti sangat malu memliiki ibu seperti diriku.
Perlu kau ketahui anakku, dulu, dulu sekali, sewaktu dirimu masih balita, kau mengalami kecelakaan tragis yang menyebabkan kau harus kehilangan kedua buah biji bola matamu. Sebagai ibu, aku tak tega melihat anakku tumbuh dewasa dengan kedua bola mata yang tak bisa merasakan dunia. Aku tak tega sedikitpun! Sebagai gantinya, dengan ikhlas, kuberikan kedua bola mataku untukmu, anakku... Agar kau bisa melihat indahnya dunia ini, tanpa kekurangan satu apapun. Aku bangga padamu bisa mendapatkan beasiswa itu! Dan aku senang kau dapat tumbuh dengan kedua mata ibumu. Walaupun nanti aku mati, tapi sebuah pancaran rasa sayangku masih tertanam dalam dirimu, mataku...
Sekian suratku ini, semoga hidupmu akan bahagia...
Sesaat, ruangan penyesalan dan lingkaran setan terputus digantikan dengan beribu penyesalan. Semuanya t’lah terlambat! Untuk membalas cinta dan kasih sayang ibu kandungku sendiri! Semuanya telah terlambat!!!
“Tidaaaaakkk!!” derai air mata sudah tak sanggup lagi terpencar dari mata ini, mata ibuku! Aku berlari, terus berlari menelusuri aspal panas berdebu, kakiku melepuh terbakar, namun tak kuhiraukan semua! Aku hanya ingin bersujud di depan makam ibuku!! Semuanya gelap, gelap!!
Kamis, 13 Mei 2010
Semuanya Telah Terlambat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kamis, 13 Mei 2010
Semuanya Telah Terlambat
Semuanya Telah Terlambat
Bentangan luas samudera terhampar menari-nari bak untaian selendang sutera raksasa diombang-ambing sang Penguasa Jagad Raya. Cakrawala dilapisi cendrawan-cendrawan kelabu bergerak perlahan ditingkahi semilir angin penuh ketenangan. Ultraviolet mentari semburat kabur ditelan angin, menyisahkan seberkas kenestapaan. Silih berganti, ketenangan itu hilang, terbang melayang. Guntur menyeringai lebar, bergemuruh dahsyat dan menghujamkan dirinya membentur dunia, bagai bongkah-bongkah atom yang menggelepar-gelepar jatuh dari langit.
“Glegeeeeerrrr...!!!!”
Layaknya petir kebencian menghujamkan dirinya, membakar hatiku. Seumpama benturan hebat asteroid, meledak, membuyar ke seorang wanita lemah nan tak bisa diandalkan, membuatku malu dan sangat menjijikkan. Tak sudi aku menyebut wanita menjijikkan itu ibu! Bertahun-tahun hidup dengan wanita itu, membuatku amat muak! Terlebih, wanita itu selalu melimpahkan kasih sayangnya padaku. Tak sedikitpun ku terima kasih sayang itu. Tak satupun cintanya kupedulikan. Tak secuilpun pengorbanannya yang begitu dahsyat kuhiraukan. Tak pernah dan takkan sudi!
Fajar menyingsing, turun dari peraduannya, menebarkan sejuta pancaran kehangatan. Cicitan burung menyeruak ke seluruh penjuru mata angin, menebarkan romansa suka cita di hatiku. Aku melangkahkan kaki, keluar rumah, tiba-tiba...
“Nak, sarapan dulu ya sebelum berangkat sekolah. Ibu sudah siapkan, walaupun seadanya, tapi... cukuplah untuk mengganjal perutmu,” ucap wanita itu, menghamburkan ketenangan di hatiku. Sembari tertatih-tatih, ia berjalan menghampiri, membelai lembut rambutku. Dengan segera kuhardik tangannya.
“Heh buta, aku nggak akan mau makan masakanmu! Siapa tahu saja kau letakkan racun dalam makanan itu!” kataku amat sangat kasar.
“Astaghfirullah nak, mana mungkin ibumu ini memberikan racun pada anaknya sendiri!” Jawab wanita itu dengan air mata yang mulai menetes dari satu matanya yang buta dan satu matanya lagi yang bolong.
“Ah! Masa bodoh!”
Praaaang...
Kubanting piring penuh makanan itu, lalu aku berlari menghambur keluar, meninggalkan rumah tua nan menyedihkan dan wanita tua yang teramat menyebalkan.
Suasana di sekolah sama suramnya seperti di rumah, kemarahan yang menggelora dalam dada berubah amukan ketika wanita tua bermata bolong dan buta itu menghampiriku di kaki tangga sekolah. Ia datang dan dengan susah payah menanyakan keadaanku, dengan matanya yang sama sekali tak bisa melihat. Tapi tak sedikitpun hatiku terketuk untuk mengasihani dan menganggapnya sebagai seorang ibu.
“Nak... Reyhan anakku, apa kau disana? Jawablah, nak... ibu telah mencarimu kemana-mana...” kata-kata lirih terlontar dari mulut wanita itu.
“Siapa tuh? Ih... dandanannya itu lho! Kumal banget, kayak gelandangan!” cetus salah seorang sahabatku mengomentari wanita itu.
Aku diam, rasa malu menyeruak menggerayangi, merayap melewati pembuluh darah, dan mungkin dalam hitungan menit akan meledak dan menghambur melewati kata-kata panas nan menghancurkan hati wanita itu.
“Iya, siapa tuh? Itu ibumu, Rey? Ih... katanya orang tuammu orang kaya, bangsawan! Kenapa kenyatannya wanita itu yang memanggilmu anaknya?” Dina, sahabatku, ikut memanas-manasi. Aku masih diam. Wajahku memerah.
“Wanita tua bermata bolong! Sudahlah, pergi sana! Kau salah orang!! Tak ada anakmu disini! Hanya ada kalangan orang-orang kaya, bukan gembel sepertimu!!” sahabatku Dina pun mengusir wanita itu. Aku tak tahan, hatiku geram.
“Heh, wanita cacat! Aku bukan anakmu! Jangan pernah kau memanggilku sebagai anakmu, apa kau tak mengerti? Berkali-kali kubilang aku ini bukan anakmu! Dasar perempuan cacat bodoh!!” hardikku dengan wajah penuh malu. Lalu tanpa kata-kata, wanita itu pergi, berlari tertatih-tatih sembari berurai air mata.
Kejadian itu sudah lama, lama sekali... Sekarang aku mendapat beasiswa ke Singapura, hidup bahagia dengan keluargaku dan aku telah menikah. Kutinggalkan wanita cacat itu sendiri di rumah tua. Bertahun-tahun air mengalir, hujan berdesiran berhenti begitu saja. Hingga pada hari ini, datanglah seorang wanita tua rapuh bermata bolong dan satu mata utuh, namun buta, mengetuk pintu rumahku. Saat itu, anakku sedang bermain di teras. Lalu ia berteriak, teriak ketakutan melihat wanita tua itu.
“Ayah!! AYAAAHH!! Ada hantu!!! Aku takut!!!” anakku berteriak memeluk erat diriku.
“assalamualaikum..” wanita tua itu mengucap salam.
“Heh wanita tua! Kau membuat takut anakku! Pergi sana cepat!!” kuusir dengan kasar wanita yang sebenarnya kutahu, ia adalah ibu kandungku.
“Maaf tuan, saya salah alamat.” Jawabnya bergetar, lalu kemabli berjalan menelusuri jalan pekarangan rumahku.
Sejak saat itu, hidupku tetap damai-damai saja bersama anak dan istriku. Hari demi hari terlewati, bulan demi bulan pun berlalu, hingga tiba kunjungan surat pertemuan alumni dari sekolahku dulu. Hari ini, tiba saatnya aku menghadiri acara itu, tujuan utamaku adalah rumah wanita tua bermata bolong itu. Namun, saat ku ketuk pintu rumah jelek itu, tak ada sahutan sedikit pun.
“Tuan, mau cari siapa?” tanya seseorang menepak punggungku.
“Oh! Wanita tua pemilik rumah ini, dimana gerangan wanita itu?” tanyaku perlahan, tap pasti.
“Wanita penghuni rumah ini, beberapa bulan yang lalu meninggal dunia, Tuan!” jawabnya.
“Meninggal? Oh, terima kasih atas informasinya!”
“Sama-sama, Tuan!” sahut pria itu.
Aku sama sekali tak meneteskan air mata sedikit pun. Bahkan, rasanya biasa saja. Lalu, kulihat selembar amplop kusam. Kupungut amplop itu, kubuka, lalu kubaca tulisannya. Tulisan miring tertata rapi, kubaca perlahan...
Teruntuk Ananda,
Anakku yang takkan pernah berhenti kukasihi.
Anakku, takkan.. takkan pernah pun kasih sayang hatiku padamu luntur untuk dirimu. Walaupun kau tak pernah mau menerima kasih sayang yang begitu tulus dari relung sanubariku, tak setetes pun kau balas kasih sayang dan cinta yang kuukir untukmu, aku tetap, aku akan selalu mancintaimu dan bangga sempat memiliki anak sepertimu...
Mungkin, jika kau membaca tulisan yang susah payah kubentuk dari tanganku ini, aku takkan bisa lagi menghirup kehadiranmu, memeluk tubuhmu, lalu bersujud didepanmu, aku takkan bisa! Maaf sebelumya kehadiranku di rumahmu dulu telah membuat takut anakmu takut. Dan aku sungguh mohon maaf karena aku tak bisa menjadi ibu yang dapat dibanggakan. Aku tak bisa melihat! Aku cacat! Aku tahu itu! Dan kau pasti sangat malu memliiki ibu seperti diriku.
Perlu kau ketahui anakku, dulu, dulu sekali, sewaktu dirimu masih balita, kau mengalami kecelakaan tragis yang menyebabkan kau harus kehilangan kedua buah biji bola matamu. Sebagai ibu, aku tak tega melihat anakku tumbuh dewasa dengan kedua bola mata yang tak bisa merasakan dunia. Aku tak tega sedikitpun! Sebagai gantinya, dengan ikhlas, kuberikan kedua bola mataku untukmu, anakku... Agar kau bisa melihat indahnya dunia ini, tanpa kekurangan satu apapun. Aku bangga padamu bisa mendapatkan beasiswa itu! Dan aku senang kau dapat tumbuh dengan kedua mata ibumu. Walaupun nanti aku mati, tapi sebuah pancaran rasa sayangku masih tertanam dalam dirimu, mataku...
Sekian suratku ini, semoga hidupmu akan bahagia...
Sesaat, ruangan penyesalan dan lingkaran setan terputus digantikan dengan beribu penyesalan. Semuanya t’lah terlambat! Untuk membalas cinta dan kasih sayang ibu kandungku sendiri! Semuanya telah terlambat!!!
“Tidaaaaakkk!!” derai air mata sudah tak sanggup lagi terpencar dari mata ini, mata ibuku! Aku berlari, terus berlari menelusuri aspal panas berdebu, kakiku melepuh terbakar, namun tak kuhiraukan semua! Aku hanya ingin bersujud di depan makam ibuku!! Semuanya gelap, gelap!!
Bentangan luas samudera terhampar menari-nari bak untaian selendang sutera raksasa diombang-ambing sang Penguasa Jagad Raya. Cakrawala dilapisi cendrawan-cendrawan kelabu bergerak perlahan ditingkahi semilir angin penuh ketenangan. Ultraviolet mentari semburat kabur ditelan angin, menyisahkan seberkas kenestapaan. Silih berganti, ketenangan itu hilang, terbang melayang. Guntur menyeringai lebar, bergemuruh dahsyat dan menghujamkan dirinya membentur dunia, bagai bongkah-bongkah atom yang menggelepar-gelepar jatuh dari langit.
“Glegeeeeerrrr...!!!!”
Layaknya petir kebencian menghujamkan dirinya, membakar hatiku. Seumpama benturan hebat asteroid, meledak, membuyar ke seorang wanita lemah nan tak bisa diandalkan, membuatku malu dan sangat menjijikkan. Tak sudi aku menyebut wanita menjijikkan itu ibu! Bertahun-tahun hidup dengan wanita itu, membuatku amat muak! Terlebih, wanita itu selalu melimpahkan kasih sayangnya padaku. Tak sedikitpun ku terima kasih sayang itu. Tak satupun cintanya kupedulikan. Tak secuilpun pengorbanannya yang begitu dahsyat kuhiraukan. Tak pernah dan takkan sudi!
Fajar menyingsing, turun dari peraduannya, menebarkan sejuta pancaran kehangatan. Cicitan burung menyeruak ke seluruh penjuru mata angin, menebarkan romansa suka cita di hatiku. Aku melangkahkan kaki, keluar rumah, tiba-tiba...
“Nak, sarapan dulu ya sebelum berangkat sekolah. Ibu sudah siapkan, walaupun seadanya, tapi... cukuplah untuk mengganjal perutmu,” ucap wanita itu, menghamburkan ketenangan di hatiku. Sembari tertatih-tatih, ia berjalan menghampiri, membelai lembut rambutku. Dengan segera kuhardik tangannya.
“Heh buta, aku nggak akan mau makan masakanmu! Siapa tahu saja kau letakkan racun dalam makanan itu!” kataku amat sangat kasar.
“Astaghfirullah nak, mana mungkin ibumu ini memberikan racun pada anaknya sendiri!” Jawab wanita itu dengan air mata yang mulai menetes dari satu matanya yang buta dan satu matanya lagi yang bolong.
“Ah! Masa bodoh!”
Praaaang...
Kubanting piring penuh makanan itu, lalu aku berlari menghambur keluar, meninggalkan rumah tua nan menyedihkan dan wanita tua yang teramat menyebalkan.
Suasana di sekolah sama suramnya seperti di rumah, kemarahan yang menggelora dalam dada berubah amukan ketika wanita tua bermata bolong dan buta itu menghampiriku di kaki tangga sekolah. Ia datang dan dengan susah payah menanyakan keadaanku, dengan matanya yang sama sekali tak bisa melihat. Tapi tak sedikitpun hatiku terketuk untuk mengasihani dan menganggapnya sebagai seorang ibu.
“Nak... Reyhan anakku, apa kau disana? Jawablah, nak... ibu telah mencarimu kemana-mana...” kata-kata lirih terlontar dari mulut wanita itu.
“Siapa tuh? Ih... dandanannya itu lho! Kumal banget, kayak gelandangan!” cetus salah seorang sahabatku mengomentari wanita itu.
Aku diam, rasa malu menyeruak menggerayangi, merayap melewati pembuluh darah, dan mungkin dalam hitungan menit akan meledak dan menghambur melewati kata-kata panas nan menghancurkan hati wanita itu.
“Iya, siapa tuh? Itu ibumu, Rey? Ih... katanya orang tuammu orang kaya, bangsawan! Kenapa kenyatannya wanita itu yang memanggilmu anaknya?” Dina, sahabatku, ikut memanas-manasi. Aku masih diam. Wajahku memerah.
“Wanita tua bermata bolong! Sudahlah, pergi sana! Kau salah orang!! Tak ada anakmu disini! Hanya ada kalangan orang-orang kaya, bukan gembel sepertimu!!” sahabatku Dina pun mengusir wanita itu. Aku tak tahan, hatiku geram.
“Heh, wanita cacat! Aku bukan anakmu! Jangan pernah kau memanggilku sebagai anakmu, apa kau tak mengerti? Berkali-kali kubilang aku ini bukan anakmu! Dasar perempuan cacat bodoh!!” hardikku dengan wajah penuh malu. Lalu tanpa kata-kata, wanita itu pergi, berlari tertatih-tatih sembari berurai air mata.
Kejadian itu sudah lama, lama sekali... Sekarang aku mendapat beasiswa ke Singapura, hidup bahagia dengan keluargaku dan aku telah menikah. Kutinggalkan wanita cacat itu sendiri di rumah tua. Bertahun-tahun air mengalir, hujan berdesiran berhenti begitu saja. Hingga pada hari ini, datanglah seorang wanita tua rapuh bermata bolong dan satu mata utuh, namun buta, mengetuk pintu rumahku. Saat itu, anakku sedang bermain di teras. Lalu ia berteriak, teriak ketakutan melihat wanita tua itu.
“Ayah!! AYAAAHH!! Ada hantu!!! Aku takut!!!” anakku berteriak memeluk erat diriku.
“assalamualaikum..” wanita tua itu mengucap salam.
“Heh wanita tua! Kau membuat takut anakku! Pergi sana cepat!!” kuusir dengan kasar wanita yang sebenarnya kutahu, ia adalah ibu kandungku.
“Maaf tuan, saya salah alamat.” Jawabnya bergetar, lalu kemabli berjalan menelusuri jalan pekarangan rumahku.
Sejak saat itu, hidupku tetap damai-damai saja bersama anak dan istriku. Hari demi hari terlewati, bulan demi bulan pun berlalu, hingga tiba kunjungan surat pertemuan alumni dari sekolahku dulu. Hari ini, tiba saatnya aku menghadiri acara itu, tujuan utamaku adalah rumah wanita tua bermata bolong itu. Namun, saat ku ketuk pintu rumah jelek itu, tak ada sahutan sedikit pun.
“Tuan, mau cari siapa?” tanya seseorang menepak punggungku.
“Oh! Wanita tua pemilik rumah ini, dimana gerangan wanita itu?” tanyaku perlahan, tap pasti.
“Wanita penghuni rumah ini, beberapa bulan yang lalu meninggal dunia, Tuan!” jawabnya.
“Meninggal? Oh, terima kasih atas informasinya!”
“Sama-sama, Tuan!” sahut pria itu.
Aku sama sekali tak meneteskan air mata sedikit pun. Bahkan, rasanya biasa saja. Lalu, kulihat selembar amplop kusam. Kupungut amplop itu, kubuka, lalu kubaca tulisannya. Tulisan miring tertata rapi, kubaca perlahan...
Teruntuk Ananda,
Anakku yang takkan pernah berhenti kukasihi.
Anakku, takkan.. takkan pernah pun kasih sayang hatiku padamu luntur untuk dirimu. Walaupun kau tak pernah mau menerima kasih sayang yang begitu tulus dari relung sanubariku, tak setetes pun kau balas kasih sayang dan cinta yang kuukir untukmu, aku tetap, aku akan selalu mancintaimu dan bangga sempat memiliki anak sepertimu...
Mungkin, jika kau membaca tulisan yang susah payah kubentuk dari tanganku ini, aku takkan bisa lagi menghirup kehadiranmu, memeluk tubuhmu, lalu bersujud didepanmu, aku takkan bisa! Maaf sebelumya kehadiranku di rumahmu dulu telah membuat takut anakmu takut. Dan aku sungguh mohon maaf karena aku tak bisa menjadi ibu yang dapat dibanggakan. Aku tak bisa melihat! Aku cacat! Aku tahu itu! Dan kau pasti sangat malu memliiki ibu seperti diriku.
Perlu kau ketahui anakku, dulu, dulu sekali, sewaktu dirimu masih balita, kau mengalami kecelakaan tragis yang menyebabkan kau harus kehilangan kedua buah biji bola matamu. Sebagai ibu, aku tak tega melihat anakku tumbuh dewasa dengan kedua bola mata yang tak bisa merasakan dunia. Aku tak tega sedikitpun! Sebagai gantinya, dengan ikhlas, kuberikan kedua bola mataku untukmu, anakku... Agar kau bisa melihat indahnya dunia ini, tanpa kekurangan satu apapun. Aku bangga padamu bisa mendapatkan beasiswa itu! Dan aku senang kau dapat tumbuh dengan kedua mata ibumu. Walaupun nanti aku mati, tapi sebuah pancaran rasa sayangku masih tertanam dalam dirimu, mataku...
Sekian suratku ini, semoga hidupmu akan bahagia...
Sesaat, ruangan penyesalan dan lingkaran setan terputus digantikan dengan beribu penyesalan. Semuanya t’lah terlambat! Untuk membalas cinta dan kasih sayang ibu kandungku sendiri! Semuanya telah terlambat!!!
“Tidaaaaakkk!!” derai air mata sudah tak sanggup lagi terpencar dari mata ini, mata ibuku! Aku berlari, terus berlari menelusuri aspal panas berdebu, kakiku melepuh terbakar, namun tak kuhiraukan semua! Aku hanya ingin bersujud di depan makam ibuku!! Semuanya gelap, gelap!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar